*

*

Ads

Rabu, 05 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 121

Kedua mata Kong Sian menjadi basah karena terharu dan girang mendengar sebutan ini dan makin yakinlah ia bahwa diam-diam Ang I Niocu juga mempunyai perasaan yang sama dengan perasaan hatinya.

“Selamat Jalan, Moi-moi, dan Sin-kim-tiauw biarlah mengawanimu.”

Ang I Niocu girang sekali. Ia berkata kepada burung rajawali itu,
“Sin-kim-tiauw, kau ikutlah padaku!”

Burung itu agaknya mengerti ucapan ini, karena ia lalu menoleh kepada Kong Sian seakan-akan minta perkenannya. Ia takkan berani pergi sebelum mendapat perkenan dari Kong Sian.

“Pergilah kau ikut dia, Kim-tiauw, dan jagalah dia baik-baik!”

Burung itu lalu mengeluarkan bunyi karena girang dan ketika Ang I Niocu berlari cepat-cepat meninggalkan tempat itu, ia lalu terbang dan mengejar. Kong Sian kembali ke pulaunya untuk merenungkan peristiwa yang tak tersangka-sangka telah terjadi dalam hidupnya itu.

Demikianlah kisah pengalaman Ang I Niocu yang disangka telah tewas itu. Beberapa bulan lamanya ia merantau mencari-cari Cin Hai dan Lin Lin. Ia kembali ke pesisir dari mana ia menyeberang ke Pulau Kim-san-to, akan tetapi ia tidak mendapatkan jejak kawan-kawannya hingga ia lalu menuju ke barat. Oleh karena mendengar bahwa Lin Lin ikut dengan seorang Turki dan bahwa pada waktu itu daerah Kansu banyak terdapat orang-orang Turki, ia lalu merantau ke barat.

Pada suatu hari ia tiba di sebuah bukit di daerah Sui-yan. Ia berlari cepat akan tetapi Sin-kim-tiauw telah mendahuluinya, terbang rendah sambil mengeluarkan bunyi karena ia merasa girang bahwa Ang I Niocu tidak dapat mengejarnya!

Tiba-tiba burung itu memekik keras dan pekik kemarahan ini mengherankan Ang I Niocu dan membuatnya mempercepat larinya. Ketika ia tiba di tempat itu, ia menjadi marah sekali oleh karena melihat betapa tiga orang-orang tua sedang melempar-lempar batu kecil ke arah Sin-kim-tiauw yang beterbangan dan menyambar-nyambar di atas mereka dengan marah! Burung itu cepat mengelak dan mengebut sambitan batu dengan sayapnya dan orang-orang tua itu berseru kagum,

“Burung bagus!”

Ketiga orang tua itu adalah seorang nenek buruk rupa, berhidung panjang dan bongkok seperti hidung kakak tua, dan berpunggung bongkok seperti punggung onta, sedangkan dua orang tua lainnya adalah seorang kakek berjubah hitam dan bersorban dan seorang lagi tosu yang bermata lebar.

Melihat betapa rajawali itu dapat mengelak dari setiap sambitan, bahkan sebuah batu yang dikebut oleh sayapnya terbalik meluncur ke arah nenek itu, Si Nenek Tua yang buruk menjadi marah.

“Burung siluman! Rasakan sambitanku ini!”

Dan ketika ia menggerakkan tangan kanannya, puluhan batu-batu kecil melayang dengan hebatnya ke arah tubuh rajawali emas! Sin-kim-tiauw cepat mengelak dan mengebut dengan sayapnya, akan tetapi sebuah dari pada batu-batu itu tepat mengenai pahanya hingga ia merasa sakit sekali dan memekik-mekik kesakitan!

“Nenek jahat! Jangan kau mengganggu burungku!”

Ang I Niocu berseru marah sambil melompat ke hadapan nenek itu. Ketika melihat seorang gadis baju merah melompat maju dan menegurnya, nenek itu menjadi marah dan tanpa berkata sesuatu lalu menyerang dengan cengkeraman tangannya ke arah pundak Ang I Niocu!

Dara Baju Merah ini segera mengangkat lengan dan menangkis, akan tetapi ia menjadi terhuyung ke belakang oleh karena ternyata bahwa tenaga lengan tangan nenek itu besar sekali! Melihat kelihaian nenek ini, Ang I Niocu segera mencabut pedangnya Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong Sian dan segera menyerang dengan cepat.

Dan pada saat ia bertempur dengan seru melawan nenek bongkok itu, datanglah Kwee An dan Ma Hoa yang terheran-heran melihat Dara Baju Merah yang tadinya disangka telah mati itu!

Dua orang kakek yang tadinya hanya menjadi penonton saja, ketika melihat betapa Nona Baju Merah ternyata lihai sekali ilmu pedangnya dan dapat mendesak nenek bongkok, segera berseru keras, dan maju menyerbu dengan kebutan ujung lengan baju mereka yang panjang.






Ang I Niocu merasa terkejut oleh karena sambaran angin pukulan mereka ternyata lebih hebat daripada serangan nenek bongkok itu, terutama pendeta yang bersorban! Maka ia lalu memutar pedangnya dengan lebih cepat lagi, mainkan ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan-kiamhwat.

Kwee An dan Ma Hoa melihat hal ini lalu menerjang dengan pedang di tangan, membantu Ang I Niocu. Mereka berdua telah bermufakat untuk diam saja dan tidak menegur Ang I Niocu, untuk membuktikan bahwa benar-benar Dara Baju Merah itu Ang I Niocu.

Ketika melihat dua bayangan berkelebat membantunya dan ternyata bahwa dua orang penolong itu adalah Kwee An dan Ma Hoa, bukan main girangnya dan segea menegur,

“Ma Hoa… Kwee An.,.”

Berdebarlah tubuh kedua anak muda itu mendengar suara ini karena kini mereka tak perlu merasa ragu-ragu lagi, terutama sekali Ma Hoa yang tak dapat menahan isaknya! Sambil menangkis ujung lengan baju pendeta bersorban yang melayang ke arah mukanya, ia berseru dengan isak tertahan,

“Enci Im Giok…!”

Juga Kwee An berseru girang,
“Ang I Niocu…!”

Sementara itu, ketiga orang tua yang mendengar nama Ang I Niocu disebut-sebut, segera melompat mundur dengan terkejut. Kesempatan ini digunakan oleh Ma Hoa dan Ang I Niocu untuk saling tubruk dan saling peluk.

“Enci Im Giok…, kau… kau masih hidup…?”

“Adik Ma Hoa…” mereka berpelukan sambil mencucurkan air mata karena girang dan keduanya saling pandang dan tersenyum.

“Ha, ha, jadi kau adalah Ang I Niocu, Ma Hoa, dan Kwee An?” berkata tosu tadi. “Kebetulan sekali!”

Juga nenek bongkok itu lalu berkata,
“Hm, memang sudah takdir bahwa kalian harus mampus di tangan kami! Ang I Niocu, ketahuilah bahwa aku adalah Siok Kwat Moli dan kedua kakek ini adalah sahabat-sahabat baikku. Mereka bernama Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin.”

Ia menunjuk ke arah pendeta bersorban lalu ke arah tosu itu.
“Tak perlu aku bercerita panjang lebar mengapa kami memusuhi kalian, cukup kalau kuberi tahu bahwa Hai Kong Hosiang yang kalian siksa itu adalah suhengku!”

Mengertilah Ang I Niocu dan kedua orang kawannya sekarang, dan mereka maklum bahwa pertempuran mati-matian tak dapat dielakkan lagi.

“Memang burung gagak selalu berkawan dengan burung-burung mayat juga!” kata Ang I Niocu sambil tersenyum sindir. “Hai Kong Hosiang belum terhitung jahat kalau belum mempunyai seorang sumoi seperti kau ini dan mempunyai sahabat-sahabat yang terdiri dari pendeta-pendeta palsu pula!”

Bukan main marahnya ketiga orang itu mendengar hinaan ini. Sambil berseru keras, nenek itu lalu mencabut keluar senjata yang istimewa, yaitu sehelai sabuk kuning emas yang panjang hingga ketika ia pegang dengan kedua tangan maka merupakan sepasang senjata lemas yang luar biasa.

Wai Sauw Pu pendeta yang bersorban itu adalah seorang dari Sin-kiang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan ia pun telah kena terbujuk oleh Hai Kong Hosiang hingga ikut pula membela pendeta gundul itu. Pendeta bersorban ini mengeluarkan senjatanya yang jarang terlihat, yaitu seuntai tasbeh terbuat daripada gading gajah yang merupakan lingkaran panjang.

Lok Kun Tojin, seorang pertapa yang sakti dari Thaisan, juga mencabut senjatanya yang lebih lihai, yaitu sepasang roda memakai tali hingga roda-roda itu kalau digerakkan bisa berputaran bagaikan kitiran dan membuat bingung kepada lawannya.

Sambil berseru keras, ketiga orang itu lalu menyerbu. Si Nenek bongkok menghadapi Ang I Niocu, pendeta bersorban menghadapi Ma Hoa, dan tosu itu menghadapi Kwee An.

Pertempuran hebat segera berlangsung dengan ramai sekali. Ang I Niocu memegang pedang Cian-hoan-kiam pemberian Lie Kong Sian, sebatang pedang pusaka yang ampuh. Kwee An memegang pedang Oei-kang-kiam pemberian Meilani, juga pedang pusaka hingga ia tidak takut menghadapi roda-roda Lok Kun Tojin. Sedangan Ma Hoa dengan sepasang bambu runcingnya yang dimainkan secara luar biasa itu dapat mengimbangi permainan tasbeh yang hebat dari Wai Sauw Pu!

Setelah bertempur belasan jurus, ketiga orang tua itu baru benar-benar merasa terkejut oleh karena tadinya mereka memandang rendah kepada tiga orang lawan muda itu yang sama sekali tak pernah mereka sangka demikian lihainya.

Ang I Niocu maklum akan kelihaian Kwee An, maka ia tidak perlu menguatirkan keadaan pemuda itu, akan tetapi tadinya ia merasa cemas melihat betapa Ma Hoa menghadapi kakek bersorban yang nampaknya kuat dan lihai sekali. Namun begitu ia melihat permainan bambu runcing Ma Hoa, diam-diam ia merasa amat kagum dan juga heran, maka dengan hati gembira Ang I Niocu lalu melayani nenek bongkok sambil berkata kepada Ma Hoa,

“Adikku, kau kini hebat sekali!”

Mendengar pujian ini, Ma Hoa lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang baru saja didapatnya dari Hok Peng Taisu dan biarpun tasbeh di tangan kakek bersorban itu luar biasa gerakannya, akan tetapi sepasang bambu runcingnya juga merupakan senjata lihai yang gerakannya belum dikenal oleh Wai Sauw Pu!

Adapun rajawali emas yang masih beterbangan dan berputar-putar di atas kepala mereka yang sedang bertempur, kini mulai menyambar turun dan membantu. Yang terutama dibantunya ialah Ang I Niocu dan beberapa kali ia menyerang kepala nenek bongkok itu hingga Si Nenek Bongkok memaki-maki kalang kabut,

“Burung jahanam! Burung siluman! Akan kusembelih lehermu, kumakan dagingmu mentah-mentah!”

Sambil berkata demikian, dengan tangan kanan menggunakan sabuknya untuk melayani Ang I Niocu sedangkan ujung sabuk di tangan kiri beberapa kali mengebut ke arah Sin-kim-tiauw tiap kali burung itu menyambar turun.

Tiba-tiba ketika burung itu menyambar turun tosu yang berkelahi melawan Kwee An, menggerakkan roda di tangan kirinya dan roda itu terputar cepat menyambar ke arah burung yang terbang di atas kepala nenek bongkok itu!

Ternyata bahwa tali yang di tengah-tengah roda amat panjangnya hingga roda itu dapat terbang tinggi dan jauh! Hampir saja rajawali itu terkena hantaman roda, baiknya ia cepat mengelak dan terbang ke atas sambil berteriak marah. Kini ia menyambar turun dan menyerang Lok Kun Tojin!

“Sin-kim-tiauw, jangan!” teriak Ang I Niocu oleh karena gadis ini maklum betapa lihainya roda-roda tosu itu.

Akan tetapi rajawali yang sedang marah ini mana mau mendengarkan cegahannya, tetap menyerang dan menyambar-nyambar dengan ganasnya.

“Sin-kim-tiauw, tak maukah kau menurut perintahku?” bentak Ang I Niocu dan suaranya menyatakan kemarahan besar yang terdorong oleh kekuatirannya.

Rajawali itu terkejut mendengar bentakan Ang I Niocu dan pada saat itu, sebuah roda dari Lok Kun Tojin dengan keras mengenai dadanya!

Burung itu terpental ke atas udara sambil berteriak-teriak kesakitan. Kemudian, karena merasa dadanya sakit sekali dan pula karena mendongkol mendengar bentakan dan cegahan Ang I Niocu yang dibelanya, ia lalu terbang tinggi sekali dan terus terbang pergi jauh!

Ang I Niocu merasa cemas sekali, sebaliknya Lok Kun Tojin merasa pukulan rodanya tadi amat berbahaya dan keras. Jangankan kulit daging, bahkan batu karang pun akan hancur apabila terpukul oleh rodanya, akan tetapi burung itu tidak tewas karenanya bahkan lalu terbang pergi dengan cepat!

Dengan Ilmu Silat Bambu Runcing yang lihai, Ma Hoa dapat membikin jerih hati lawannya yang sebenarnya masih lebih tinggi ilmu silatnya. Sedangkan ilmu pedang Ang I Niocu juga membuat nenek bongkok itu merasa gentar. Tak pernah disangkanya bahwa musuh-musuh suhengnya yang muda-muda memiliki ilmu kepandaian yang begini luar biasa. Tidak heran apabila suhengnya yang lihai itu sampai kena dikalahkan.






Tidak ada komentar :