*

*

Ads

Rabu, 05 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 123

Cin Hai melarikan Pek-gin-ma dengan cepat, diikuti oleh burung bangau di atas kepalanya. Ia telah menjelajah di sekitar daerah perbatasan Tiongkok dan Mongol untuk mencari jejak Lin Lin dan Yousuf, akan tetapi sia-sia belaka. Akhirnya, tepat sebagaimana yang diduga oleh Kwee An dan Ma Hoa ia lalu menuju ke barat oleh karena ia pun berpikir bahwa boleh jadi Yousuf melarikan diri ke barat.

Pada suatu hari, ketika ia sedang menjalankan kudanya perlahan sambil merenungkan nasibnya yang selalu terpisah dari Lin Lin, ia merasa seakan-akan ada orang mengikutinya dari belakang. Beberapa kali ia menoleh, akan tetapi ia tidak melihat bayangan seorang pun.

Akan tetapi, apabila ia melanjutkan perjalanannya, kembali ia merasa seakan akan sepasang mata memandangnya dan sepasang kaki berjalan cepat dengan amat ringannya di belakang kuda.

Dengan tiba-tiba Cin Hai berpaling lagi, akan tetapi kembali ia kecele, oleh karena ia tidak melihat ada orang. Setankah yang mengikutinya? Atau orang yang berkepandaian tinggi? Seingatnya, yang mungkin mengikutinya secara luar biasa cepatnya dan diam-diam, tidak ada orang lain kecuali suhunya yang akan sanggup melakukannya.

Akan tetapi tak mungkin suhunya mengikuti dengan diam-diam. Cin Hai lalu melarikan kudanya cepat-cepat, akan tetapi kembali ia mendengar tindakan kaki yang amat ringannya mengikutinya dengan cepat pula. Ketika ia menengok, masih saja kosong di belakangnya, tidak nampak seorang pun.

Sungguh mengherankan, dan dengan penasaran ia lalu turun dari kudanya dan berjalan sambil menuntun Pek-gin-ma. Setelah berjalan kaki, Cin Hai makin merasa yakin bahwa benar-benar ada orang yang mengikutinya dari belakang dan orang ini tentu berkepandaian tinggi sekali oleh karena selain tindakan kakinya yang ringan sekali, juga tiap kali menengok, orang itu telah dapat melenyapkan diri dan bersembunyi dengan cara yang luar biasa.

Ia dapat menduga bahwa dengan mengandalkan ginkangnya yang sempurna, tentu orang itu telah melompat ke belakang pohon pada saat ia menengok, oleh karena di sepanjang jalan yang dilaluinya memang terdapat banyak sekali pohon-pohon besar.

Oleh karena ini, ia lalu mendapat akal. Ia sengaja menuntun kudanya keluar dari tempat itu dan melalui jalan yang membelok ke kanan dimana tidak terdapat sebatang pohon juga. Ia hendak melihat apakah orang itu masih berani mengikutinya dan kalau ia menengok, orang itu hendak lari bersembunyi kemana?

Benar saja, ketika ia melalui jalan yang tidak berpohon, tindakan kaki yang mengikutinya lalu berhenti. Akan tetapi, alangkah terkejut dan herannya ketika ia mendengar lagi suara tindakan kaki itu di belakangnya.

Alangkah beraninya orang itu, pikirnya penasaran dan secepat kilat ia menggerakkan kepala berpaling memandang ke bekakang. Dan kini ia melihat seorang laki-laki yang berpakaian indah sedang berjalan dengan seenaknya, sama sekali tidak gugup atau hendak pergi bersembunyi ketika ia menengok!

“Sobat, kenapa kau mengikuti aku?” tanya Cin Hai gemas.

Orang itu tertawa, suara ketawanya nyaring dan tinggi, mengandung ejekan seperti biasanya suara ketawa orang yang berwatak sombong. Orang ini masih muda, paling banyak berusia tiga puluh tahun, tubuhnya sedang, wajahnya tampan dan gagah, keningnya tinggi sedangkan pakaiannya terdiri dari baju warna kuning dan celananya biru.

Di luar bajunya masih memakai sehelai mantel abu-abu yang indah sekali. Pada rambutnya yang hitam itu nampak hiasan dari batu giok yang merupakan seekor naga terbang.

Cin Hai merasa heran karena setelah dekat, ia melihat betapa pada kedua pipi laki-laki ini nampak warna kemerah-merahan yang tidak asli, seakan-akan pipi itu dibedaki dengan yanci dan bedak seperti biasa dipakai wanita bersolek!

Setelah tertawa nyaring laki-laki pesolek ini lalu berkata,
“Aku berjalan di belakangmu atau di depanmu, maupun di sebelahmu, apakah hubungannya dengan kau? Aku berjalan di atas kedua kakiku sendiri dan jalan ini adalah jalan umum! Padamu tidak ada sesuatu yang menarik hatiku, kecuali kuda putih ini dan burung bangau itu!”

Ia tertawa lagi sambil memandang dengan mata mengandung ejekan. Biarpun hatinya mendongkol, akan tetapi Cin Hai dapat merasakan juga bahwa ucapan orang ini ada benarnya juga. Ia berjalan sendiri dan tidak mengganggunya, mengapa ia harus merasa penasaran dan gemas? Maka timbul kejenakaannya dan ia menjawab,

“Peribahasa kuno menyatakan bahwa orang harus berlaku waspada terhadap orang yang berada di belakangnya dan tak perlu takut kepada orang yang berada di hadapannya! Kau selalu berjalan di belakang, bahkan dengan cara bersembunyi, maka teringatlah aku akan peribahasa itu. Bukan maksudku hendak menyebutmu pengecut, akan tetapi maksud peribahasa itu bahwa orang harus berhati-hati terhadap orang yang selalu melakukan hal dengan sembunyi-sembunyi karena orang demikian itu adalah seorang yang berbahaya dan berwatak pengecut!”






Ucapan yang diputar-putar ini biarpun tidak langsung memaki, akan tetapi telah dua kali Cin Hai menyebut orang di depannya itu sebagai pengecut!

Laki-laki pesolek itu tidak menjadi marah, hanya tersenyum dibuat-buat dan ia meloloskan sehelai tali yang banyak bergantungan di ujung bajunya, lalu mempermainkan tali itu diantara jari tangannya.

“Kau pandai berkelakar anak muda, tapi tetap saja aku menganggap bahwa kuda dan burungmu itu lebih baik daripadamu!”

Pada saat itu burung bangau melayang dari atas melihat betapa Cin Hai berhadapan dengan orang asing, ia lalu menyambar ke atas kepala orang itu.

“Ang-siang-kiam, jangan kurang ajar!” seru Cin Hai, akan tetapi dengan tenang seakan-akan tidak diserang oleh seekor burung bangau yang besar dan ganas, orang itu lalu menggerakkan tangannya ke arah burung itu, kemudian ia menjura kepada Cin Hai sambil berkata,

“Ah, burungmu mulai membosankan aku, anak muda. Selamat tinggal!”

Bukan main terkejut hati Cin Hai ketika merasa betapa dari kedua tangan orang yang sedang menjura kepadanya itu, menyambar angin pukulan yang hebat ke arah dadanya!

Cin Hai buru-buru membungkukkan tubuhnya dan balas menjura sambil mengerahkan khikangnya dan ketika dua tenaga mereka bertemu keduanya melangkah mundur dua tindak! Ternyata bahwa tenaga mereka berimbang. Orang itu memandang kepada Cin Hai dengan mulut tersenyum mengejek, akan tetapi kedua matanya mengeluarkan pandangan kagum.

“Bagus, bagus, aku telah bertemu dengan seorang ahli!”

Tubuhnya lalu berkelebat dan sebentar saja lenyaplah ia dari pandang mata Cin Hai. Pemuda ini merasa heran dan kagum, akan tetapi ketika memandang ke arah burung bangau yang telah terbang turun, keheranannya berubah kekagetan karena ia melihat betapa burung itu sedang bergulingan di atas tanah dan mencakar-cakar paruhnya sendiri!

Ketika Cin Hai menghampiri, ternyata bahwa sepasang paruh burung yang seperti sepasang pedang merah itu telah terikat menjadi satu oleh tali yang tadi dipegang oleh laki-laki pesolek itu! Ia cepat menggunakan pedangnya memutuskan tali yang mengikat paruh burung bangau, akan tetapi ternyata bahwa tali itu kuat sekali dan tidak mudah diputuskan. Setelah ia mengerahkan tenaga, barulah tali istimewa itu dapat diputuskan dan burung itu lalu terbang tinggi dengan ketakutan!

Cin Hai mengeluarkan keringat dingin. Bukan main lihainya orang itu yang dengan sehelai tali dapat membuat burung itu tidak berdaya. Orang yang dapat melontarkan tali hingga dapat melibat dan mengikat burung yang sedang terbang menyambarnya, dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu silatnya! Masih untung bahwa orang itu tidak turun tangan dan memusuhinya, kalau terjadi demikian belum tentu ia akan dapat mengalahkan lawan yang sedemikian tangguhnya itu!

Teringatlah Cin Hai akan kata-kata suhunya bahwa di dunia terdapat banyak sekali orang-orang pandai. Ia lalu menaiki punggung Pek-gin-ma lagi dan bersuit memberi tanda kepada burung bangau untuk melanjutkan perjalanan menuju ke barat.

Ketika ia telah melakukan perjalanan sampai beberapa puluh li jauhnya, hari telah menjadi senja dan ia tiba di luar sebuah kota yang temboknya telah terlihat dari situ. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki kuda di sebelah belakang. Ia berhenti dan alangkah herannya ketika melihat bahwa kira-kira seperempat li jauhnya di sebelah belakang, ada seorang penunggang kuda yang juga menghentikan kudanya! Ia lalu menggerakkan Pek-gin-ma lagi dan ternyata orang itu pun melarikan kudanya pula. Ketika ia berhenti dengan tiba-tiba, orang itu pun berhenti.

“Kurang ajar!” kata Cin Hai sambil membalikkan kudanya dan melarikan kuda mengejar orang yang mengikutinya itu!

Ia sudah merasa bosan untuk diikuti orang saja dan siapapun juga orang itu, ia akan menghajarnya! Orang itu pun membalikkan tubuh kuda dan melarikan kudanya dengan cepat dan Cin Hai makin merasa heran oleh karena kini ia dapat melihat bahwa orang itu adalah seorang Turki yang tinggi kurus!

Orang yang dikejarnya itu melarikan kudanya ke dalam sebuah hutan dan ketika Cin Hai mengejar dan memasuki hutan pula, tiba-tiba dari depan melayang belasan batang anak panah yang kesemuanya mengarah dada, leher, dan perut!

“Pengecut!” ia berseru marah sambil mempergunakan ujung lengan bajunya mengebut ke depan hingga berhasil memukul jatuh semua anak panah, kemudian ia mengeprak kudanya agar berlari lebih cepat.

Akan tetapi tiba-tiba rumput yang diinjak oleh kudanya itu nyeplos ke bawah dan tubuh Pek-gin-ma terjeblos ke dalam lubang perangkap yang besar dan yang ditutup oleh rumput-rumput hijau!

Cin Hai cepat melompat dari kudanya hingga tidak ikut terjeblos ke dalam lubang itu. Ia mendengar kudanya meringkik ngeri dan ketika ia memandang ke dalam lubang, ternyata bahwa Pek-gin-ma telah tertusuk oleh tiga batang tombak yang sengaja dipasang di dalam lubang itu!

Melihat tubuh kudanya berkelojotan, dengan marah dan hati penuh rasa iba, Cin Hai lalu menarik keluar pedangnya dan menusuk punggung kuda itu ke arah jantungnya hingga kuda itu mati seketika itu juga! Kalau ia tidak melakukan tikaman ini, kuda itu pasti akan mati, akan tetapi harus menderita lebih dulu beberapa lamanya.

Kemudian, Cin Hai memburu ke depan hedak mencari orang Turki tadi, akan tetapi ia tidak melihat bayangan orang di dalam hutan itu! Ia mencari-cari terus dan berteriak-teriak memaki-maki akan tetapi setelah hari sudah mulai gelap dan belum juga ia mendapatkan musuh yang curang itu, terpaksa ia pergi meninggalkan hutan dengan hati marah sekali.

Burung bangau yang terbang di atas hutan itu pun tidak melihat adanya musuh dan burung ini tidak berani turun seakan-akan ia masih merasa gentar menghadapi lawan yang tadi telah secara aneh dapat mengikat paruhnya!

Cin Hai melanjutkan perjalanan menuju ke kota di depan itu sambil berlari cepat. Hatinya gemas sekali oleh karena ia merasa telah dipermainkan orang. Kota yang dimasukinya adalah sebuah kota yang cukup ramai dan disitu ia melihat banyak orang-orang Mongol, serta orang-orang dari suku bangsa lain.

Setelah mencari kamar di sebuah rumah penginapan, Cin Hai lalu keluar dari kamarnya untuk melihat-lihat dan sekalian mencari jejak Lin Lin, juga ingin sekali bertemu dengan orang Turki tinggi kurus yang dilihatnya tadi.

Ia melihat sebuah rumah makan besar yang penuh tamu, lalu masuk memesan makanan. Pelayan membawanya ke loteng, oleh karena di bagian bawah telah penuh. Ketika ia memasuki tangga loteng, tiba-tiba ia mendengar percakapan tamu di loteng itu yang membuatnya segera menahan tindakan kakinya dan mendengarkan dengan teliti. Seorang di antara tamu-tamu itu telah membicarakan dan menyebut nama Yousuf!

“Yousuf sedang sakit dan tak berdaya kalau kita menyerbu dengan tiba-tiba dan berbareng, apa sukarnya menundukkan gadis itu?”

Hanya sedemikianlah yang dapat didengar oleh Cin Hai, oleh karena ketika pelayan muncul, percakapan itu lalu dilakukan dalam bahasa Turki yang ia tak mengerti sama sekali.

Ia berjalan menundukkan muka, akan tetapi ia memperhatikan mereka. Ternyata bahwa ruang atas itu kosong dan hanya terdapat empat orang duduk mengelilingi sebuah meja penuh mangkok berisi hidangan. Seorang di antaranya adalah seorang laki-laki berbangsa Turki, sedangkan yang tiga orang lainnya adalah seorang nenek bongkok, seorang kakek bersorban, dan seorang pula berpakaian seperti tosu.

Mereka ini bukan lain ialah Giok Kwat Moli si Nenek Bongkok, Wai Sauw Pu si Kakek Bersorban, dan, Lok Kun Tojin, tiga orang yang dulu pernah bertemu dan bertempur melawan Ang I Niocu, Kwee An, dan Ma Hoa! Akan tetapi Cin Hai belum pernah melihat mereka.

Ketiga orang tua itu ternyata pandai bercakap-cakap dalam bahasa Turki hingga Cin Hai hanya duduk mendengarkan penuh perhatian dan biarpun tidak mengerti sama sekali, akan tetapi beberapa kali ia mendengar nama Yousuf disebut-sebut, hingga diam-diam ia berdebar girang. Tadi mereka menyebut seorang gadis yang hendak mereka keroyok, bukankah gadis yang dimaksudkan itu Lin Lin adanya?






Tidak ada komentar :