*

*

Ads

Rabu, 05 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 124

Cin Hai tidak tahu bahwa keempat orang itu merasa mendongkol dan marah karena percakapan mereka terganggu oleh kedatangannya, oleh karena biarpun mereka mengerti bahasa Turki, akan tetapi mereka lebih suka bercakap-cakap dalam bahasa Han tanpa didengar oleh telinga lain orang.

Tiba-tiba mereka itu bicara dalam bahasa Han lagi, akan tetapi pembicaraan mereka kini telah berubah dan Cin Hai mendengar tosu itu berkata dengan keras,

“Memang sugguh menyebalkan orang-orang sekarang, terutama anak-anak mudanya. Mereka bisanya hanya bersolek dan menjual lagak belaka. Yang paling kubenci adalah pemuda-pemuda yang berpakaian seakan-akan ia seorang sasterawan pandai, akan tetapi sebetulnya dia tak mengerti apa-apa. Kalau melihat orang pemuda berpakaian pelajar, timbul keinginanku untuk mencekik lehernya!”

Tiga orang kawannya tertawa lebar dan ketika Cin Hai memandang ternyata bahwa dengan terang-terangan mereka berempat sedang memandang kepadanya. Ia maklum bahwa empat orang itu tentu sengaja menghinanya oleh karena ia memang mengenakan pakaian sebagai seorang pelajar dan pedangnya disembunyikan ke dalam bajunya yang lebar dan panjang. Hanya ia belum mengerti mengapa mereka itu menghinanya tanpa sebab.

“Yang menyebalkan ialah bahwa mereka itu tidak insyaf bahwa kehadiran mereka tidak disukai orang. Dan sama sekali tidak mengerti bahwa kehadiran mereka mengganggu percakapan orang lain!” terdengar suara nenek bongkok dan Cin Hai mengerti bahwa mereka itu merasa terganggu, maka berusaha menakut-nakutinya agar ia segera berpindah tempat ke ruang bawah!

Akan tetapi ia tidak peduli dan ketika masakan yang dipesannya datang, ia lalu makan seakan-akan di ruang atas itu tidak terdapat lain orang kecuali dia sendiri!

Tiba-tiba tosu bercambang bauk itu membersihkan kerongkongannya dengan suara yang menjijikkan sekali. Hal ini dilakukan berkali-kali dibarengi suara tertawa dari kawan-kawannya hingga Cin Hai hampir tak dapat menahan sabar lagi. Lenyaplah nafsu makannya karena merasa jijik dan sambil menoleh dan meletakkan sumpitnya, ia berkata,

“Heran sekali, mengapa orang-orang tua dan pendeta-pendeta disini demikian tidak tahu kesopanan dan bersikap seperti orang-orang liar?”

Ucapan Cin Hai ini membuat Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu, marah sekali. Ia bangun berdiri dan tubuhnya yang tinggi besar itu membuat ia nampak garang sekali. Tangan kanannya menyambar sepasang sumpitnya dan sekali ia menggerakkan tangan, sebatang sumpit itu menyambar dan menancap di meja Cin Hai sampai setengahnya lebih!

Cin Hai mendongkol sekali karena terang-terangan mereka itu hendak menghina dan mengajaknya berkelahi. Dengan tenang ia lalu memegang sumpitnya dan dengan perlahan ia memukulkan sumpitnya pada sumpit yang tertancap di atas mejanya sambil berseru,

“Kakek tua, hati-hatilah kau menggunakan sumpitmu, jangan sampai terloncat ke meja lain!”

Ketika sumpit yang tertancap di atas meja itu kena dipukul oleh sumpitnya, sumpit itu mencelat dan melayang kembali ke arah Wai Sauw Pu yang masih berdiri di dekat mejanya sendiri.

Kakek bersorban itu menangkap sumpitnya yang melayang kembali sambil tertawa bergelak dan berkata,

“Ha, ha, tidak tahunya bukan sembarang kutu buku, dan memiliki juga sedikit punsu (kepandaian). Kau patut menerima penghormatanku. Terimalah sepotong daging sebagai penghormatan!”

Sambil berkata demikian, ia menusuk sepotong daging dan ketika ia mengayun tangannya, sumpit berikut daging yang tertusuk melayang ke arah mulut Cin Hai.

Pemuda ini merasa marah sekali, maka ia hendak mendemonstrasikan kepandaiannya. Ia tidak mengelak atau menangkap sumpit yang menyambar ke arah mulutnya itu, hanya miringkan kepala sedikit dan ketika sumpit itu lewat di depan mulutnya, ia membuka mulut dan menggigit ujungnya.

Daging dan sumpit dapat tergigit olehnya dan ketika ia meniup, sumpit itu meluncur ke atas lantai dan patah menjadi dua! Kemudian ia menghadapi Wai Sauw Pu dan mengerahkan tenaga khikang lalu menyemburkan daging dari mulutnya itu kepada kakek itu, disusul dengan kata-kata,

“Kakek yang baik, kubayar lunas penghormatanmu dan terimalah kembali daging busukmu!” Daging yang disemburkan itu cepat sekali meluncur ke arah mulut Wai Sauw Pu.






Kini terkejutlah kakek ini dan ia segera miringkan kepala hendak berkelit akan tetapi semburan Cin Hai ini selain cepat, juga tidak terduga hingga biarpun daging itu tidak mengenai mulutnya, akan tetapi masih menyerempet pipinya hingga terasa pedas dan pipinya ternoda oleh kuah daging itu!

Wai Sauw Pu menjadi marah sekali. Dengan tindakan kaki lebar ia lalu menghampiri Cin Hai yang juga belum berdiri dengan tenang.

“Tikus kecil! Berani betul kau berlaku kurang ajar di depanku!” teriak Wai Sauw Pu dengan marah sekali.

“Kakek yang baik, pernahkah kau mendengar sebuah ujar-ujar kuno yang sangat baik! Ujar-ujar itu menyatakan, bahwa menghormat orang lain berarti menghormat diri sendiri! Kau dan kawan-kawanmu sengaja menggangguku padahal aku tidak melakukan sesuatu yang salah! Kalau kau tidak menghormat bahkan menghina orang lain, bukankah itu menyalahi ujar-ujar itu? Menghormati orang lain berarti menghormat diri sendiri, sebaliknya menghina orang lain berarti menghina diri sendiri karena dengan perbuatanmu yang menghina orang lain itu hanya menyatakan betapa rendahnya martabatmu!”

Mendengar ucapan ini, tertegunlah hati Wai Sauw Pu dan ia mulai menduga bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan. Akan tetapi, untuk daerah barat nama Wai Sauw Pu sudah terkenal sekali dan apalagi ia dihina oleh pemuda itu di depan ketiga orang kawannya, maka tentu saja ia tidak mau mengalah.

“Anak muda, siapakah kau yang berani bermain gila di depan Wai Sauw Pu si Malaikat Tasbeh? Katakan siapa namamu agar aku tidak menghajar segala orang yang tidak bernama!”

Cin Hai berpura-pura memperlihatkan muka terkejut dan ketakutan mendengar nama yang sesungguhnya belum pernah dikenalnya itu.

“Ah, kiranya aku berhapan dengan seorang malaikat? Tentu kau masih terhitung keluarga dengan Giam-lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa), karena menurut cerita orang Giam-lo-ong juga bertubuh tinggi besar seperti kau! Aku hanya seorang biasa saja, mana ada kehormatan untuk memperkenalkan nama kepada malaikat? Sudahlah, kakek yang baik, kau maafkan aku saja dan jangan kau mencabut nyawaku!”

Ucapan ini dikeluarkan dengan suara sewajarnya dan tidak mengandung ejekan akan tetapi cukup memerahkan telinga Wai Sauw Pu.

“Boleh, boleh! Kau boleh minta maaf akan tetapi kau harus mencukur gundul dulu kepalamu di hadapanku, baru aku bisa memberi maaf dan tidak menghancurkan kepalamu!”

Cin Hai adalah seorang yang mempunyai kesabaran besar, akan tetapi tidak ada ucapan yang akan melebihi sakitnya terasa di dalam hatinya selain menyuruh dia menggundul kepalanya! Ucapan yang dikeluarkan oleh Wai Sauw Pu tanpa disengaja itu mengingatkan dia akan hinaan-hinaan yang dideritanya ketika ia masih kanak-kanak dan berkepala gundul. Maka ia lalu menjawab,

“Pikiranmu cocok sekali dengan keinginan hatiku! Aku pun ingin sekali melihat benda apakah yang tersembunyi di dalam sorbanmu itu! Ingin sekali aku melihat warna kulit kepalamu, apakah kulitnya sama tebalnya dengan mukamu!”

“Keparat!” teriak Wai Sauw Pu dan tahu-tahu tangannya telah menarik keluar lihai tasbehnya, senjatanya yang ampuh itu!

Dan tanpa mengeluarkan peringatan lagi, tahu-tahu tasbehnya telah meluncur dan menyerang ke arah kepala Cin Hai! Pemuda ini dengan tenang lalu mengelak segera mempergunakan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na untuk menghadapi tasbeh kakek itu dengan tangan kosong!

Tidak hanya Wai Sauw Pu yang terkejut melihat gerakan pemuda yang luar biasa cepatnya itu, bahkan kawan-kawannya juga memandang dengan heran dan kagum. Biarpun tasbeh itu membuat gerakan yang melingkar-lingkar dan mencegah seluruh jalan keluar, namun dengan cepat tubuh Cin Hai dapat berkelebat mengikuti gulungan sinar senjata dan menghindarkan diri dari setiap sambaran tasbeh!

“Kakek yang baik, kau bukalah sorbanmu!”

Sambil berkata demikian, kedua tangan Cin Hai cepat bergerak dan dengan gerakan Kong-ciak-jio-cu atau Merak Sakti Merampas Mustika, ia mencengkeram ke arah kepala Wai Sauw Pu dengan tangan kirinya!

Kakek itu terkejut sekali dan mengelak ke kanan, akan tetapi secepat kilat tangan kanan Cin Hai menyusul dan sebelum Wai Sauw Pu sempat berkelit, sorbannya telah dapat dicengkeram dan direnggutkan dari kepalanya oleh Cin Hai. Tertawalah anak muda itu ketika melihat betapa kepala Wai Sauw Pu ternyata gundul pelontos seperi kepalanya dulu!

“Ha, ha, ha! Pantas saja kau minta aku mencukur gundul rambutku, tidak tahunya kau telah mendahuluiku mencukur gundul kepalamu! Ha, ha, alangkah licinnya! Lalat pun akan terpeleset apabila hinggap di kepalamu!”

Biarpun merasa marah sekali, ketiga kawan Wai Sauw Pu terpaksa menahan ketawa mereka mendengar kata-kata yang lucu ini. Mereka bertiga lalu meloloskan senjata masing-masing dan menerjang maju hingga Cin Hai terkurung di tengah-tengah.

Melihat gerakan mereka diam-diam Cin Hai terkejut juga karena tidak disangkanya bahwa ilmu kepandaian keempat orang ini ternyata benar-benar tinggi dan hebat! Ia pikir takkan ada gunanya untuk melawan mati-matian kepada mereka itu, karena bukankah mereka ini mempunyai hubungan dengan lenyapnya Yousuf dan Lin Lin? Maka ia lalu melompat ke sana ke mari dan membuat gerakan-gerakan Tarian Bidadari hingga tubuhnya dengan mudah dapat mengelak dari setiap serangan, sambil berkata,

“Aduh, lihai… lihai sekali, aku terima kalah!”

Ia lalu melompat ke atas dan cepat pergi dari tempat itu, bersembunyi di tempat gelap di luar rumah makan.

Empat orang itu segera mengejar dan melompat turun dari loteng hingga semua tamu yang mengenal mereka sebagai orang-orang berilmu tinggi menjadi panik dan lari ketakutan!

Dengan marah keempat orang itu mencari-cari, akan tetapi Cin Hai dapat menyembunyikan diri dengan baik, bahkan lalu mengikuti mereka ketika mereka pergi dengan berlari cepat sekali.

Keempat orang yang diikuti Cin Hai itu menuju ke sebelah timur kota dan mereka memasuki sebuah pondok. Cin Hai menggunakan ilmu ginkangnya yang tinggi untuk mengintai tanpa diketahui oleh penghuni pondok.

Ketika ia memandang, alangkah kagetnya oleh karena keempat orang itu ternyata mengadakan pertemuan dengan tiga orang tosu bangsa Han yang bukan lain orangnya ialah Kang-lam Sam-lojin, ketiga tokoh besar dari Liong-san-pai yang pernah menjadi guru-gurunya dulu! Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu sudah kelihatan tua sekali akan tetapi mereka masih bersikap gagah!

Ketujuh orang di dalam pondok itu sedang membicarakan tentang pertemuan yang baru dialami oleh keempat orang tua itu dengan Cin Hai. Si Kakek bersorban berkata,

“Jangan-jangan pemuda yang aneh itu adalah kawan Yousuf, atau jangan-jangan ia adalah seorang penyelidik dari kaisar! Maka lebih baik malam ini juga kita menyerbu ke pondok itu untuk menawan Yousuf!”

Setelah mengadakan permufakatan, ketujuh orang itu lalu keluar dari pondok dan segera berlari menuju ke sebuah hutan yang berada di luar kota.

Cin Hai tetap mengikuti mereka dengan hati berdebar. Alangkah banyaknya orang-orang pandai yang hendak menawan Yousuf! Benar-benarkah yang hendak ditawannya Yousuf yang menjadi ayah angkat Lin Lin itu? Dengan hati menduga-duga dan penuh harapan,

Cin Hai terus mengikuti mereka masuk ke dalam hutan. Malam itu terang bulan hingga mereka dapat berjalan di dalam hutan tanpa banyak susah. Mereka berhenti di luar sebuah pondok kayu sederhana yang agaknya masih baru dibangun di tengah-tengah hutan itu.

“Yousuf! Kau keluar dan menyerahlah dengan damai!” Wai Sau Pu berteriak dari luar.

Tiba-tiba api penerangan yang tadinya nampak bernyala di dalam pondok itu menjadi padam, dan terdengarlah suara yang merdu dan nyaring dari dalam pondok,

“Kawanan penjahat rendah! Kau kira Nonamu akan membiarkan kau mengganggu ayahnya?”






Tidak ada komentar :