*

*

Ads

Jumat, 07 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 127

Ang I Niocu, Kwee An dan Ma Hoa melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat untuk mencari Lin Lin dan Yousuf. Pada suatu hari ketika mereka tiba di sebuah hutan, mereka melihat seorang kakek sedang dikeroyok oleh rombongan perampok yang terdiri dari belasan orang bersenjata golok.

Kakek ini gagah sekali, bertempur sambil tertawa bergelak dan memutar-mutar sebatang dayung dengan hebatnya. Tiga orang pengeroyoknya telah roboh dengan tulang patah dan kulit matang biru, sedangkan sisa pengeroyok-pengeroyok terdesak hebat.

“Nelayan Cengeng!” seru Ang I Niocu dan ketiga orang muda itu segera menerjang kawanan perampok itu yang segera melarikan diri karena baru menghadapi seorang kakek saja mereka sudah terdesak, apalagi kini datang tiga orang muda membantu kakek itu!

Nelayan Cengeng ketika melihat kedatangan Ang I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An, tertawa gembira sekali. Ia mengusap-usap rambut Ma Hoa ketika gadis itu berlutut di depan suhunya, mulutnya tiada hentinya tertawa, akan tetapi kedua matanya mengalirkan air mata!

“Ma Hoa, alangkah senangnya hatiku dapat bertemu dengan kau disini. Kau sekarang telah berubah banyak, muridku! Dengan rambutmu terurai seperti ini, kalau tidak ada Kwee An dan Ang I Niocu, mungkin akan pangling!”

Ternyata bahwa Nelayan Cengeng telah menyusul muridnya di lereng bukit di utara itu, akan tetapi hanya mendapatkan tumpukan puing belaka hingga ia pun menyusul dan mengejar ke barat. Ketika tiba di dalam hutan itu, ia dikeroyok oleh perampok-perampok yang merupakan makanan lunak bagi dayungnya hingga ia mempermainkan mereka dengan gembira, tak menyangka sama sekali bahwa disitu ia akan dapat bertemu dengan murid yang dicari-carinya itu.

“Ketika aku mencarimu di utara, aku mendengar tentang Lin Lin dan Yo Se Pu dikejar kejar oleh orang Turki. Di manakah mereka itu sekarang? Dan di mana pula adanya Cin Hai? Sungguh tak kusangka tadinya bahwa kalian semua akan terpisah-pisah seperti ini. Dan Ang I Niocu seakan-akan baru kembali dari lubang kubur! Ketahuilah, Niocu, bahwa tak seorang pun pernah menyangka bahwa kau masih hidup! Syukurlah, semuanya berada dalam selamat, ini menambahkan keyakinan bahwa kalian adalah orang-orang baik yang berada dalam lindungan Thian!”

Dengan singkat Ang I Niocu menceritakan pengalamannya bagaimana ia sampai dapat tertolong dari pulau yang meledak itu, akan tetapi sama sekali ia tidak menyebut nama Lie Kong Sian.

Sedangkan Ma Hoa lalu menuturkan pengalamannya ketika ia dan Kwee An terjerumus ke dalam jurang dan betapa ia mendapat pelajaran dari seorang pertapa bernama Hok Peng Taisu, kakek botak yang mengajarkan Ilmu Silat Bambu Kuning kepadanya.

“Hebat, hebat! Kau beruntung sekali, Ma Hoa! Ketahuilah bahwa Hok Peng Taisu adalah seorang tokoh besar dan dulu ketika aku masih muda, pernah aku mendapat pertolongan dari Si Botak itu hingga sampai sekarang gurumu ini masih dapat hidup! Dulu aku pernah dikepung oleh imam-imam dari perkumpulan Agama Ngo-bwe-kauw dan ketika aku terdesak hebat dan terancam bahaya maut, datanglah Si Botak itu yang menolongku.

Dan sekarang, kembali ia menolong jiwamu dan bahkan memberi pelajaran ilmu silat yang tinggi kepadamu! Bagus, bagus, sebelum aku mati, aku harus menemui Si Botak itu untuk berlutut menghaturkan terima kasih kepadanya. Sekarang kau perlihatkanlah kepandaianmu yang baru itu!”

Ma Hoa menganggap Nelayan Cengeng seperti ayah sendiri, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mengeluarkan sepasang bambu runcingnya dan bersilat dengan cepat.

Melihat betapa gadis itu dengan rambut berkibar melambai-lambai menggerakkan kedua batang bambu runcing hingga dua batang bambu yang berwarna kuning itu merupakah sinar panjang berbelit-belit bagaikan ratusan ekor ular kuning sedang saling belit dan bergerak-gerak dengan ruwet dan aneh, tidak saja Kwee An memandang dengan kagum dan rasa kasih sayangnya bertambah, juga Ang I Niocu dan Nelayan Cengeng merasa kagum sekali.

Setelah Ma Hoa selesai bersilat, gurunya tertawa lagi dengan gembira dan air matanya mengucur makin deras!

“Adik Ma Hoa, ilmu silatmu sekarang telah maju hebat, sungguh membuat aku merasa kagum sekali,” kata Ang I Niocu dengan sejujurnya.

“Aah, Enci Im Giok, jangan kau terlalu memuji. Aku masih banyak mengharapkan petunjukmu,” kata Ma Hoa sambil menyimpan kembali kedua batang bambu runcingnya.

Kembali Ang I Niocu mengusulkan untuk mencari Lin Lin dan Cin Hai dengan terpisah agar lebih banyak harapan dan lebih cepat bertemu dengan kedua anak muda itu.






“Biarlah Kong Hwat Lojin mengawani kalian berdua, dan aku akan mencari sendiri,” kata Ang I Niocu yang memang lebih suka melakukan perjalanan seorang diri.

Biarpun Ma Hoa merasa agak sayang untuk berpisah lagi dengan wanita pandekar yang disayanginya itu, namun ia anggap usul ini betul juga.

“Akan tetapi kita harus menentukan tempat berkumpul kembali agar kita tidak saling mencari tanpa mengetahui dimana kita harus saling mengadakan pertemuan,” kata Nelayan Cengeng.

Lalu mereka mengadakan permufakatan untuk bertemu di rumah Kwee An. Semua orang setuju dan pada saat mereka hendak melanjutkan perjalanan dengan terpisah, tiba-tiba mereka mendengar dengan sayup-sayup suara orang bertempur. Mereka saling pandang dengan heran dan keempatnya lalu lari menuju ke arah dari mana suara itu datang.

Pada waktu itu, hari telah mulai menjadi gelap, akan tetapi di udara banyak bintang hingga keadaan tidak terlalu gelap. Suara beradunya senjata dan teriakan-teriakan itu datang dari tengah hutan dan ketika mereka tiba, di suatu tempat terbuka, mereka melihat dua orang laki-laki sedang bertempur dengan hebatnya!

Seorang diantara mereka adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang barusia kira-kira empat puluh tahun lebih. Ia bersenjata sebuah alat tetabuhan yang bertali empat, gerakannya hebat dan angin gerakannya membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang!

Lawannya juga seorang yang lihai sekali, yaitu seorang pendeta bertubuh pendek gemuk, berjubah merah dan memegang sebuah gendewa sebagai senjata. Gerakannya juga lihai sekali dan tiap kali ujung gendewanya beradu dengan senjata lawannya, bunga api memercik tinggi, tanda bahwa selain kedua senjata itu terbuat dari logam yang keras, juga bahwa tenaga mereka besar dan seimbang!

Mereka berempat, bahkan Nelayan Cengeng sendiri tidak tahu siapa adanya dua orang yang berilmu tinggi itu. Sebenarnya, orang yang bersenjata alat musik itu bukan lain ialah Sie Ban Leng atau paman Cin Hai yang dulu telah mengkhianati ayah Cin Hai hingga terbinasa sekeluarganya!

Sedangkan pendeta jubah merah itu adalah Sian Kek Losu, seorang pendeta Sakya Buddha, atau sute dari Thai Kek Losu yang lihai dan yang menjadi jago nomor dua dari semua tangan kanan Yagali Khan, Raja Muda Mongol itu!

Bertambah banyaknya orang-orang Turki yang mendatangi Tiongkok bagian barat, membuat kaisar menaruh curiga, maka kemudian kaisar lalu memerintahkan panglimanya untuk mengirim seorang utusan atau penyelidik.

Kam Hong Sin atau Kam-ciangkun yang kini menjadi panglima tertinggi kerajaan adalah seorang yang amat lihai dalam melakukan tugasnya. Ia maklum bahwa tugas seorang penyelidik di barat bukanlah tugas yang ringan dan yang dapat dilakukan oleh sembarang orang saja, maka ia lalu minta pertolongan kawan baiknya dengan memberi hadiah dan upah besar. Kawan baiknya ini bukan lain ialah Sie Ban Leng!

Juga Yagali Khan menyebar orang-orangnya untuk melihat gerak-gerik orang Turki yang menjadi musuhnya. Di antara orang-orangnya ini, juga Sian Kek Losu ikut pula melakukan perjalanan ke barat untuk melihat keadaan.

Maka bertemulah Sian Kek Losu dengan Sie Ban Leng di tempat ini hingga setelah mengetahui bahwa mereka datang dari pihak yang bermusuhan, bertempurlah mereka dengan hebatnya.

Gerakan serangan Sie Ban Leng benar-benar hebat luar biasa. Senjatanya yang aneh itu menyambar-nyambar dan tak pernah berhenti menyerang karena tiap kali serangannya dapat dielak, senjatanya itu membuat gerakan melengkung dan terus membabat dan memukul lagi, hingga serangan itu dilakukan tanpa pernah tertunda, merupakan serangan bertubi-tubi hingga membuat pendeta Sakya Buddha itu tersedak hebat.

Tiba-tiba pendeta Sakya Buddha itu melompat mundur dan gerakan tubuhnya yang pendek itu amat gesitnya hingga sekali melompat ia telah berada di tempat yang jauhnya tidak kurang dari lima tombak. Ketika Sie Ban Leng melompat untuk menerjang lagi, Sian Kek Losu telah mengeluarkan anak panah yang dipasangnya pada gendewanya dan begitu terdengar suara tali gendewa menjepret, tujuh batang anak panah sekaligus melayang ke arah tubuh Sie Ban Leng di beberapa bagian!

Terkejutlah Nelayan Cengeng dan kawan-kawannya melihat kehebatan dan bahaya besar yang mengancam orang Han itu. Betapapun juga, dan biarpun mereka tidak kenal siapa adanya dua orang itu dan mengapa pula mereka bertempur, akan tetapi sebagai orang-orang Han, sedikit banyak mereka memihak bangsa sendiri. Ini adalah watak manusia pada umumnya, maka melihat bahaya yang mengancam Sie Ban Leng, tak terasa pula Nelayan Cengeng mengeluarkan seruan tertahan.

Akan tetapi kalau kepandaian memanah dari Sian Kek Losu hebat, maka kegesitan Sie Ban Leng lebih hebat lagi. Ia berseru keras dan untuk mengelak sambaran tujuh batang anak panah yang dilepas dari dekat dan yang melayang dengan kecepatan luar biasa itu memang sudah tak mungkin, maka tiba-tiba ia mengenjot kakinya dan kaki itu melayang ke atas dengan kepala di bawah.

Dengan demikian, maka tubuh bagian bawah yang terancam akan panah telah terhindar dari bahaya dan untuk menjaga kepalanya ia memutar-mutar senjatanya sedemikian rupa hingga dua batang anak panah yang tadinya mengarah mata dan tenggorokannya, dengan suara keras beradu dengan senjatanya.

Sebatang anak panah dapat dipukul jatuh akan tetapi yang sebatang pula menancap pada perut alat musik itu. Anak panah yang terpukul itu melayang dengan masih cepatnya ke arah Ang I Niocu yang berdiri terdepan.

Dengan tenang Ang I Niocu lalu memegang ujung ikat pinggangnya yang melambai di bawah dan sekali ia menggerakkan tangan, ikat pinggangnya meluncur dan ujungnya dapat menangkis anak panah yang menuju kepadanya hingga jatuhlah anak panah itu di atas tanah.

“Kau berani merusak alat musikku!” teriak Sie Ban Leng dengan marah dan ia melompat lalu mengirim serangan berupa pukulan hebat ke arah kepala pendeta pendek itu.

Kalau pukulan itu mengenai sasaran, pasti kepala Sian Kek Losu akan menjadi remuk. Akan tetapi Sian Kek Losu sudah siap sedia. Biarpun ia tadi merasa terkejut sekali melihat betapa lawannya dapat menghindarkan diri dari semua anak panahnya, akan tetapi ketika lawannya menyerbu dengan pukulan senjata, ia lalu maju dan menggempur senjata lawan itu dengan gendewanya.

Akan tetapi, kali ini Sie Ban Leng benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya hingga ketika gendewa itu beradu dengan senjatanya, Sian Kek Losu terdorong ke belakang dengan keras!

Sie Ban Leng tidak mau memberi hati dan mendesak terus, akan tetapi pada saat itu, dari dalam gerumbulan pohon keluarlah tujuh orang pahlawan Mongol, di antaranya nampak Balaki yang lihai. Segera mereka menyerbu dan mengeroyok Sie Ban Leng yang tertawa bergelak dan berkata,

“Majulah! Majulah kalian tikus-tikus Mongol!” dan ia memutar-mutar senjatanya dengan hebat.

Tadi ketika Sian Kek Losu bertempur dengan Sie Ban Leng, Kwee An mengusulkan untuk membantu, akan tetapi ia dicegah oleh Ang I Niocu yang menyatakan bahwa orang Han itu takkan kalah.

Akan tetapi kini setelah melihat betapa banyak orang Mongol yang berilmu silat tinggi dan lihai membantu dan mengeroyok orang Han itu, tanpa mendapat komando lagi Nelayan Cengeng lalu menyerbu sambil memutar-mutar dayungnya dengan hebat dan berteriak,

“Pengecut, pengecut! Mengapa terjadi pengeroyokan??”

Ang I Niocu, Kwee An dan Ma Hoa juga lalu menerjang maju hingga sebentar saja pihak Mongol menjadi kacau balau karena biarpun mereka itu lihai, namun empat orang yang membantu Sie Ban Leng ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari mereka, sedangkan pihak mereka yang dapat mengimbangi kepandaian Nelayan Cengeng dan kawan-kawannya hanyalah Sian Kek Losu dan Balaki.

Maka atas aba-aba yang dikeluarkan oleh Balaki, mereka lalu melompat mundur dan menghilang di dalam gelap.






Tidak ada komentar :