*

*

Ads

Minggu, 23 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 165

Kita ikuti perjalanan Ang I Niocu yang bertugas membagi-bagikan sekantung harta pusaka itu kepada rakyat jelata yang miskin. Oleh karena Dara Baju Merah ini memang sudah biasa melakukan perjalanan seorang diri, dan pula untuk membagi-bagi harta benda itu memang seharusnya berpencar, maka ia lalu memisahkan diri dan berjanji akan saling bertemu dengan kawan-kawannya ini di rumah Lin Lin di Tiang-an sebagai tempat tujuan terakhir.

Mereka saling berpesan bahwa apabila bertemu dengan Cin Hai dan Lin Lin, harus memberi tahu bahwa kedua teruna remaja itu pun ditunggu di Tiang-an. Dengan demikian, maka mereka tak usah saling mencari dan dapat mengarahkan tujuan perjalanan mereka ke suatu tempat tertentu.

Ang I Niocu melakukan perjalanan seorang diri seperti biasa, bebas bagaikan seekor burung di udara. Ia membagi-bagi harta benda itu dengan adil dan memilih orang-orang yang benar-benar berada dalam keadaan yang amat sengsara. Pekerjaan ini ia lakukan dengan hati gembira karena keharuan dan kegirangan wajah orang-orang yang menerima pembagian itu membuat hatinya ikut merasa terharu dan girang sekali.

Pada suatu hari, ketika ia tiba di luar kota Lang-i, tiba-tiba ia melihat bayangan dua orang dari jalan simpangan. Ang I Niocu cepat bersembunyi di belakang sebatang pohon ketika melihat bahwa dua orang itu bukan lain ialah Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio.

Kedua orang itu berlari cepat memasuki kota Lang-i, maka diam-diam Ang I Niocu mengikuti mereka. Dara Baju Merah ini merasa benci sekali kepada Hai Kong Hosiang yang telah mencelakakan Lin Lin, maka ia mengambil keputusan untuk mencari kesempatan membunuh hwesio jahat itu agar kelak tidak menimbulkan kekacauan pula.

Akan tetapi, melihat bahwa hwesio itu bersama Wi Wi Toanio yang kosen, ia merasa ragu-ragu untuk turun tangan, karena terlalu berat baginya untuk menghadapi dua orang tangguh itu.

Kedua orang itu menuju ke sebelah barat kota dan diam-diam Ang I Niocu terus mengikuti mereka. Setelah tiba di ujung kota, mereka masuk ke dalam sebuah gedung yang besar. Ang I Niocu mengambil jalan dari belakang dan ketika melihat bahwa di belakang gedung itu sunyi, ia lalu melompati pagar tembok dan mengintai. Dan apa yang dilihatnya di dalam gedung itu membuat hatinya berdebar karena terkejut dan heran.

Ternyata bahwa di dalam gedung itu terdapat sebuah ruangan yang lebar dan yang dipasangi banyak meja dan kursi. Ruangan itu telah penuh oleh banyak orang dan orang-orang inilah yang membuat Ang I Niocu terkejut, karena ia melihat wajah-wajah yang telah dikenalnya, antara lain Kam Hong Sin perwira tinggi kerajaan, Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tojin. Si Hwesio yang selalu tertawa dan tosu yang selalu mewek, Kong-lam Sam-lojin tiga orang tokoh Liong-san, Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu. Tampak juga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan dua orang yang baru masuk, yaitu Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio!

Orang-orang ini adalah sebagian dari pada orang-orang yang tadinya mewakili golongan-golongan yang bermusuhan, yaitu golongan Turki, Mongol, dan kerajaan yang kesemuanya telah dikalahkan oleh Bu Pun Su. Mengapa mereka sekarang mengadakan pertemuan bersama? Apakah mereka hendak mengadu kepandaian?

Ang I Niocu mengintai dengan hati-hati sekali oleh karena ia maklum bahwa orang yang berada di dalam itu bukanlah orang-orang lemah dan berbahaya sekali baginya kalau sampai terlihat oleh mereka. Kebetulan sekali di luar gedung itu terdapat setumpuk rumput kering maka ia mendapatkan tempat persembunyian yang baik sekali di belakang rumput itu, sambil mengintai melalui celah-celah jendela yang berada dekat di situ.

Agaknya Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio merupakan orang terakhir yang dinanti-nanti, karena setelah mereka berdua datang dan disambut oleh Kam Hong Sin lalu dipersilakan duduk, perwira itu lalu berdiri dari tempat duduknya dan berkata kepada semua orang.

“Cu-wi sekalian. Aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih dan selamat datang kepada Cu-wi sekalian yang telah sudi memenuhi undangan kami untuk berkumpul disini. Hal ini membuktikan bahwa betapapun juga, Cu-wi sekalian masih ingat akan kebangsaan sendiri. Sebagaimana Cu-wi sekalian ketahui, harta pusaka yang menjadi hak milik kerajaan bangsa kita itu telah dicuri dan dibawa pergi orang. Kita tak perlu membongkar-bongkar urusan yang lalu dan sekarang kita merupakan sekumpulan orang yang hendak berusaha mendapatkan kembali harta pusaka itu dan membasmi para pemberontak yang telah berani berlancang tangan mencuri harta pusaka dari tangan kita.”

Hai Kong Hosiang berdiri sendiri dan mengangkat tangannya, tanda bahwa ia minta Kam Hong Sin berhenti bicara karena ia sendiri hendak bicara. Matanya yang tinggal satu itu bersinar-sinar tajam memandang kepada Kam Hong Sin ketika ia bicara.

“Kam-ciangkun, pencuri harta pusaka itu adalah Hok Peng Taisu, seorang yang berilmu tinggi dan tangguh. Selain dia, masih ada pula Bu Pun Su yang selalu mengacaukan keadaan, karena kami tahu bahwa dia pun menghendaki harta pusaka itu! Siapa tahu kalau-kalau kedua orang tua jahat itu telah bersekutu! Hal ini tak boleh dipandang ringan, karena selain mereka berdua yang lihai, masih banyak terdapat anak muridnya yang tak boleh dipandang ringan, seperti Pendekar Bodoh, Ang I Niocu, Kwee Lin, Ma Hoa, Kwe An, dan ada pula Nelayan Cengeng!”






Kam Hong Sin mengangguk-angguk,
“Aku maklum, Hai Kong Suhu, dan aku pun telah tahu akan kelihaian mereka. Akan tetapi dengan kerja sama yang baik dan mengerahkan tenaga kita dibantu oleh para Perwira Sayap Garuda yang banyak jumlahnya, apakah sukarnya untuk menangkap mereka dan merampas kembali harta pusaka itu?”

Wi Wi Toanio berdiri dan biarpun suaranya halus, akan tetapi jelas terdengar bahwa ia merasa gemas dan marah sekali ketika ia berkata,

“Apa artinya bicara tentang merampas kembali harta pusaka? Harta itu telah mereka sebar dan bagi-bagikan kepada rakyat! Ini semua adalah salahnya Bu Pun Su dan kalau perundingan ini dimaksudkan untuk menghukum dia, aku baru mau mengikutinya!” Setelah berkata demikian, Wi Wi Toanio duduk kembali di dekat Hai Kong Hosiang.

Terdengar seruan-seruan marah dari sana sini mendengar bahwa harta pusaka telah dibagi-bagi kepada rakyat. Adapun Kam Hong Sin yang sudah mengetahui hal itu, hanya tersenyum dan berkata,

“Cuwi sekalian, memang benar ucapan Wi Wi Toanio tadi. Aku pun telah mendengar tentang hal itu, dan rupanya para pemberontak itu hendak menghasut rakyat untuk memberontak pula dengan menyogok harta benda mereka. Akan tetapi, kita akan bertindak tegas dan membasmi sebelum mereka mendapat kesempatan mengumpulkan tenaga bantuan. Aku membawa surat resmi dari Kaisar sendiri yang ditujukan kepada Cuwi yang gagah perkasa.”

Sambil berkata demikian, Kam Hong Sin mengeluarkan sesampul surat yang dibungkus sutera kuning bersulamkan burung Hong. Ketika ia membacakan surat itu, semua orang terdiam dengan penuh hormat, karena betapapun juga, menerima surat dari kaisar sendiri adalah satu penghormatan besar yang jarang sekali dirasai orang!

Isi surat itu ternyata adalah satu pengharapan dari Kaisar agar orang-orang gagah suka membantu dalam usaha Kaisar menangkap atau menghukum para pemberontak yang dipimpin oleh Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu!

Ternyata dalam sakit hatinya untuk membalas kekalahannya, Kam Hong Sin berhasil membujuk Kaisar untuk mengeluarkan putusan menghukum kedua tokoh besar itu agar ia dapat mencari bala bantuan dengan mudah. Selain pengharapan untuk mendapat pertolongan, di dalam surat itu Kaisar menjelaskan bahwa orang-orang gagah yang suka mengulurkan tangan menolong, akan diberi pangkat tinggi, tempat tinggal gedung besar di dalam kota raja, dan sejumlah uang yang banyak sekali.

Tentu saja semua orang yang hadir di situ merasa mengilar mendengar janji upah yang besar itu. Bukan semata-mata upahnya yang mereka inginkan, akan tetapi nama besar dan penghormatan. Kini terbuka kesempatan untuk membantu Kaisar dan membuat pahala yang akan mendatangkan hasil besar dan nama baik di samping menebus dosa-dosa mereka yang lalu!

Memang, hampir semua orang yang hadir disitu, kecuali hamba-hamba Kaisar, dulu seringkali melakukan pelanggaran-pelanggaran yang berarti berdosa kepada Kaisar, dan dengan adanya kesempatan ini, maka dosa-dosa itu tentu akan dilupakan dan bahkan akan mengangkat diri mereka menjadi orang-orang berkedudukan tinggi!

“Kalau demikian, aku setuju!” kata Wi Wi Toanio dan untuk menutupi keinginannya akan kedudukan dan kemuliaan yang dijanjikan oleh Kaisar itu, ia berkata lagi, “Bukan, karena aku inginkan semua kemuliaan itu, akan tetapi karena aku akan mendapat kesempatan membalas dendam kepada Bu Pun Su yang telah menghina kita dan kepada Hok Peng Taisu yang telah mencuri harta pusaka itu! Tentang kelihaian mereka, jangan kuatir, aku mempunyai seorang supek yang menjadi tokoh nomor satu di daerah barat, yaitu Pok Pok Sianjin. Kalau aku berhasil minta bantuannya, jangankan baru Bu Pun Su dan Hok Pek Taisu biarpun ditambah seratus orang lagi, dengan mudah mereka akan dapat dihancurkan!”

Semua orang memandang heran karena sepanjang pendengaran mereka, tokoh besar dari barat yang disebut Pok Pok Sianjin itu kabarnya telah musnah dan telah naik ke Sorga menjadi dewa! Demikianlah dongeng yang dituturkan orang.

Hai Kong Hosiang tertawa.
“Memang di atas dunia ini terdapat empat orang tokoh besar yang dapat disebut menduduki tempat tertinggi di dunia persilatan. Untuk daerah selatan dan timur, nama Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu disebut-sebut sebagai tokoh-tokoh besar tanpa tandingan. Akan tetapi di bagian barat terdapat Pok Pok Sianjin, dan di bagian utara terdapat Swi Kiat Siansu, Suhu dari Thai Kek Losu. Kudengar bahwa Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu telah tewas oleh Pendekar Bodoh, maka kalau kita pergi ke utara melaporkan hal ini kepada Swi Kiat Siansu, mustahil dia tidak akan turun gunung membantu kita?”

Semua orang merasa girang sekali karena kalau saja dua orang sakti itu benar-benar mau turun gunung membantu pekerjaan yang berat dan hebat ini akan jauh lebih ringan lagi. Tiba-tiba Ceng To Tosu sambil mewek-mewek bangun berdiri dari tempat duduknya dan berkata,

“Cu-wi, setelah diadakan persetujuan untuk bekerja sama, menurut pendapat pinto yang bodoh, ada baiknya kalau diangkat seorang ketua atau pemimpin agar segala pekerjaan yang dilakukan berada di bawah pimpinan seorang yang tepat dan yang terbaik diantara kita semua!”

Mendengar ucapan ini, semua orang saling pandang dan mulailah mereka mempertimbangkan, siapa kiranya yang tepat untuk dijadikan pemimpin.

“Seorang ketua haruslah mempunyai kepandaian tertinggi, maka untuk menentukan siapa yang patut menjadi ketua, lebih baik kita mengajukan beberapa orang calon, kemudian calon-calon itu menguji kesaktian untuk membuktikan bahwa dia memang cukup pandai untuk diangkat menjadi ketua,” kata Hai Kong Hosiang.

Orang-orang lalu saling bercakap-cakap hingga keadaan menjadi riuh, sedangkan Ang I Niocu yang melihat dan mendengar semua ini, diam-diam merasa terkejut sekali. Kalau mereka semua telah bersatu dan berhasil memanggil dua orang tokoh besar yang disebutkan tadi, maka pihaknya akan menghadapi lawan yang amat tangguh.

Ia pernah mendengar nama Pok Pok Sianjin yang bertapa di Puncak Go-bi-san dan juga sudah mendengar nama Swi Kiat Siansu yang bertapa di pegunungan daerah Mongolia, dan kabarnya kedua orang itu memiliki kesaktian yang luar biasa! Sambil menahan napas agar jangan mengeluarkan suara berisik, Ang I Niocu melanjutkan pengintaiannya.

Setelah dipilih-pilih, akhirnya yang diajukan menjadi calon adalah tiga orang yang dianggap memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, yaitu Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, dan Kam Hong Sin sendiri. Tadinya Siok Kwat Mo-li Si Nenek Bongkok juga dipilih, akan tetapi ia tidak mau menerimanya dan mengundurkan diri sambil berkata,

“Hai Kong Suheng telah dipilih, mengapa pula aku sebagai Sumoinya harus maju? Biarlah dia yang mewakili aku sekalian!”

Sambil tersenyum Kam Hong Sin berkata kepada Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio,
“Oleh karena kita berada di antara kawan sendiri, maka kuharap adu kepandaian ini dilakukan dalam cara damai sebagaimana biasa dilakukan oleh perwira-perwira kerajaan.”

“Bagus, bagaimanakah cara itu, Kam-ciangkun?” tanya Wi Wi Toanio.

“Di waktu para perwira menguji kepandaian, mereka mempergunakan sepasang sumpit gading yang dipegang di tangan kanan seperti orang sedang makan nasi. Kemudian dengan sumpit itu, mereka saling menjepit dan berusaha membetot sumpit di tangan lawannya dan siapa yang sumpitnya terlepas, dia dianggap kalah.”

“Baik sekali!” Hai Kong Hosiang memuji. “Memang siapa yang lebih tinggi lweekangnya akan mendapat kemenangan. Akan tetapi, tentu saja kita tidak boleh menyerang tangan orang dengan sumpit itu, bukan?”

“Tidak boleh sama sekali! Dalam hal ini kita harus mengandalkan kejujuran dan kepandaian, sama sekali tidak boleh melukai tangan lawan!”

Setelah mendapat persetujuan, Kam Hong Sin, Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang lalu duduk mengelilingi sebuah meja dan para pelayan lalu mengambil tiga pasang sumpit gading. Untuk menguji kekuatan sumpitnya, Kam Hong Siang lalu berseru keras dan menancapkan sepasang sumpit itu di atas meja hingga sumpit itu menancap sampai setengahnya di dalam kayu meja yang keras itu.






Tidak ada komentar :