*

*

Ads

Minggu, 28 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 034

Kebetulan sekali pada hari itu juga Ang I Niocu tiba di Bok-chiu dan mendengar tentang perhubungan sucinya dengan Ong Hu Lin. Ia pergi menyelidik dan mendengar semua peristiwa mengenai diri Giok-gan Kui-bo yang sekarang kabarnya tinggal di dalam sebuah gua di gunung yang berada tak berapa jauh dari kota itu. Maka ia pun lalu menyusul ke sana!

Giok-gan Kui-bo sedang duduk seorang diri di dalam gua tempat tinggalnya, menanti mendidihnya air yang dimasak, ketika tiba-tiba tirai bambu yang dipasang di depan guanya itu terbuka.

Seorang wanita muda yang cantik dan berpakaian aneh telah berada di depannya sambil tertawa ha-ha-hi-hi. Kim Lian memperhatikan wanita ini. Ternyata bahwa rambut wanita ini pun terurai ke belakang dan di atasnya diikat dengan pita hijau. Bajunya kotak-kotak hitam dan nampak lucu sekali.

“Siapa kau?” tanya Kim Lian tak acuh karena menyangka yang datang hanyalah seorang gadis dusun yang ingin menemuinya.

“Hi-hi-hi. Inikah Giok-gan Kui-bo? Inikah sundal tak tahu malu yang merampas suamiku? Ha, ha!”

“Kau… kau gila!” Kim Lian memaki marah sambil berdiri dari tempat duduknya.

“Kau yang gila! Kau, bukan aku!” tiba-tiba wanita itu menuding dengan jari telunjuknya yang runcing. “Kau harus mampus!”

Setelah berkata demikian Pek-bin Moli menampar dengan tangannya ke arah pipi Lim Lian. Giok-gan Kui-bo marah sekali dan menggerakkan tangannya hendak menangkap tangan yang menampar itu, akan tetapi alangkah herannya ketika tangan yang menampar itu dapat berkelit dan melanjutkan tamparannya dari lain jurusan dan “plak!” pipinya kena tampar!

Bukan main marahnya Giok-gan Kuibo. Selama merantau di dunia kang-ouw belum pernah ada orang berani menghinanya, apalagi menamparnya!

“Anjing betina! Siapakah kau berani main gila di depanku?” bentaknya dengan dada turun naik karena marahnya.

“Hi, hi. Sakit ya?” kata Pek-bin Moli sambil tertawa. “Kau belum kenal aku? Kau belum pernah mendengar tentang Pek-bin Moli?”

Terkejutlah Giok-gan Kui-bo mendengar nama ini.
“Kau yang disebut Pek-bin Moli? Jadi kau ini puteri Pek Moko? Mengapa kau datang-datang memaki dan menamparku?” tanyanya heran hingga untuk sesaat ia melupakan kemarahannya.

“Hi, hi, hi! Kau main gila dengan suamiku dan kau masih bertanya mengapa aku menamparmu? Ha, ha, suami orang tidak bisa dibagi-bagi!”

Giok-gan Kui-bo melirik keluar gua dan melihat bayangan Ong Hu Lin berdiri dengan wajah pucat dan tubuh menggigil.

“Hm, jadi orang she Ong itu suamimu? Tetapi ia tidak pernah bilang bahwa ia suamimu.”

“Ha, ha, ha! Ia terlalu cinta padaku, mana ia mau mengobral namaku disebut-sebut kepada sembarang orang? Hi, hi, hi!”

“Pek-bin Moli! Kau sudah datang ke sini dan jangan kau kira aku Giok-gan Kui-bo takut kepadamu. Sekarang kau mau apa?”

“Eh, eh, kau mau melawan? Baik, kau mampuslah!”

Setelah berkata demikian, Pek-bin Moli lalu menyerang dan keduanya lalu bertempur hebat di dalam gua yang sempit itu! Kalau Giok-gan Kui-bo lihai sekali gerakan tangannya yang seperti menari-nari dengan buasnya itu, adalah Pek-bin Moli yang bermuka putih halus itu luar biasa lihainya mempergunakan kedua kakinya!

Harus diketahui bahwa di dalam sepatu, tepat di bawah telapak kakinya, tersembunyi besi baja yang menambah kelihaian tiap tendangan dan sepakan wanita ini. Selain itu, Pek-bin Moli memiliki ginkang luar biasa dan tubuhnya seakan-akan melayang-layang ke atas sambil mengirim tendangan bertubi-tubi bagaikan kedua kakinya tak pernah menyentuh tanah.

Akan tetapi Giok-gan Kui-bo melawan dengan sungguh-sungguh. Pertempuran itu sungguh menarik dan hebat sekali. Tendangan dan pukulan sampai menimbulkan angin mendesir dan suaranya keluar dari gua itu membuat tirai bambu yang berada di luar bergoyang-goyang seakan-akan terhembus angin besar. Ong Hu Lin berdiri dengan muka pucat dan tubuh menggigil.






Tiba-tiba dari jauh tampak oleh Ong Hu Lin setitik bayangan merah yang naik ke tempat itu dengan cepat sekali. Ia cepat menyelinap ke samping gua dan bersembunyi karena maklum bahwa yang datang itu tentu seorang yang berkepandaian tinggi. Setelah dekat, ia melihat bahwa yang datang itu adalah seorang wanita berbaju merah yang luar biasa cantiknya.

“Ong-piauwsu, kau keluarlah, tak usah bersembunyi karena aku sudah melihatmu!”

Kaget sekali Ong Hu Lin mendengar ini dan dengan muka makin pucat ia keluar dari tempat persembunyiannya.

“Dimana adanya Giok-gan Kui-bo?” Ang I Niocu dengan suara keren.

Ong Hu Lin makin heran. Siapakah wanita ini yang agaknya memiliki kepandaian hebat dan yang datang-datang menanyakan Giok-gan Kui-bo?”

“Kau siapakah?” Ia memberanikan diri bertanya.

“Tak usah kau tahu. Lekas katakan di mana adanya Giok-gan Kui-bo!” Ang I Niocu membentak marah hingga Ong Hu Lin merasa takut. “Dia… dia sedang bertempur melawan isteriku… ”

“Isterimu? Siapakah dia?”

“Pek-bin Moli…”

Mendengar nama ini, Ang I Niocu memandang ke arah tirai bambu yang tergantung di depan gua yang kini bergoyang-goyang karena sambaran angin pukulan dari dalam gua. Ia segera melompat dan menggunakan tangan kiri menyingkap tirai itu.

Pada saat itu, dengan Ilmu Tendangan Siauw-ci-twi, Pek-bin Moli sedang mendesak hebat kepada Giok-gan Kui-bo yang berkelit ke sana ke mari mengelak tendangan maut yang datang bertubi-tubi itu.

Tepat pada saat Ang I Niocu membuka tirai memandang, sebuah tendangan kaki kiri telah melanggar pundak kiri Giok-gan Kuibo yang mengeluarklan seruan tertahan dan tubuhnya terhuyung ke belakang.

Pek-bin Moli mengejar hendak mengirim tendangan maut, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu tendangannya itu tertangkis oleh sebuah lengan tangan yang kuat sekali. Pek-bin Moli kaget dan melompat mundur sambil memandang Dara Baju Merah yang menghalang-halangi serangannya tadi.

“Pek-bin Moli, harap kau suka bersabar dan tenang sedikit. Maafkanlah Suciku kalau ia bersalah. Kesalahannya tidak sangat besar hingga kau tak perlu menjatuhkan tangan maut!”

“Siapa kau?” tanya Pek-bin Moli dengan mata berputar-putar hebat.

“Aku Sumoinya.”

Setelah memutar otaknya dan melihat pakaian itu, agaknya Pek-bin Moli teringat.
“Hi, hi, kau tentu Ang I Niocu bukan? Kau memang cantik jelita!”

“Pek-bin Moli,” kata Ang I Niocu yang maklum bahwa wanita di depannya itu memang berotak miring maka percuma saja diajak bicara panjang lebar “sekarang aku putuskan. Kau pergi dari sini membawa suamimu sebelum ia lari lagi, atau kau biarkan suamimu lari pergi dan kau bertempur melawan aku?”

Kedua mata Pek-bin Moli terbelalak
“Apa? Suamiku lari pergi lagi? Mana dia…? He, Ong Hu Lin…! Tunggu…!”

Dan wanita gila ini berlari keluar sambil berteriak-teriak memanggil nama suaminya. Setelah bertemu di luar, ia lalu menggandeng tangan suaminya itu dan diajak pulang. Ong Hu Lin hanya menurut saja seperti seekor kerbau ditarik tali hidungnya.

Ang I Niocu menghampiri Giok-gan Kui-bo yang merintih-rintih. Luka di pundaknya walaupun tidak membahayakan jiwanya, tetapi terasa sakit sekali.

“Suci, telah dua tahun aku mencari-carimu di mana-mana. Tidak tahunya di sini kau memperebutkan seorang laki-laki dengan wanita gila itu!”

Mendengar kata-kata keras ini, Giok-gan Kui-bo tidak menjawab hanya menundukkan kepala. Ang I Niocu menghela napas, karena tahu bahwa jika berhadapan dengannya, Kim Lian selalu memperlihatkan sikap lemah dan mengalah. Ia maklum bahwa sucinya ini mempunyai kebiasaan buruk dan genit hingga banyak orang kang-ouw menganggap ia sebagai perempuan lacur, akan tetapi sebenarnya, di dalam hati ia tak begitu jahat.

“Suci, kalau saja kau berada di pihak benar, belum tentu kau kalah oleh wanita gila itu. Akan tetapi kau telah berlaku sesat dan membiarkan dirimu dengan mudah saja tergoda oleh laki-laki, maka sedikit luka itu anggaplah saja sebagai hukuman. Aku datang atas perintah Susiok-couw!”

Mendengar disebutnya susiok-couw terkejutlah Giok-gan Kui-bo hingga wajahnya berubah pucat.

“Tidak, jangan kau takut. Susiok-couw belum menjatuhkan putusan pendek dan tegas. Akan tetapi beliau minta supaya aku memberi peringatan kepadamu. Kau telah berkali-kali melanggar pantangan sebagai orang gagah dan melakukan perbuatan-perbuatan rendah. Kau mencuri, merampok, menculik pemuda-pemuda dan kau mencemarkan nama perguruan kita. Sekarang jawablah, bagaimana pikiranmu?”

Dengan muka masih tunduk Giok-gan Kui-bo menjawab,
“Im Giok, memang aku telah bersalah… tetapi apa dayaku? Aku sebatangkara, hidupku merana menderita. Kalau aku tidak mencari kesenangan sendiri, siapakah yang dapat memberi kesenangan kepadaku? Apakah aku harus melewatkan hidupku dalam kesunyian dan mati dengan hati menderita?”

Ang I Niocu merasa terharu mendengar ini, akan tetapi ia mengeraskan suaranya ketika berkata dengan tegas,

“Suci, kau juga tahu bahwa di dunia ini ada dua macam kesenangan. Kesenangan yang buruk dan jahat dan ada pula kesenangan yang baik, bersih. Mengapa kau menurutkan nafsu hatimu yang jahat? Apakah kau tidak mempunyai cukup tenaga untuk mengekang nafsu jahatmu dan apakah kau tidak memiliki lagi kebersihan batin seorang wanita yang sopan dan menjunjung tinggi kesusilaan?”

“Sudahlah, sudahlah…” tiba-tiba Giok-gan Kui-bo menjatuhkan diri sambil menangis. “Kau mana tahu tentang kasih sayang, mana tahu tentang cinta! Selama hidupmu agaknya kau tidak pernah menderita dan merasa bagaimana celakanya hati yang tergoda rasa rindu. Agaknya hatimu terbuat daripada batu!”

Kim Lian memandang sumoinya dengan mata basah. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kata-katanya itu bagaikan mata pedang tajam menusuk uluhati Im Giok hingga Ang I Niocu menundukkan kepala dengan wajah pucat. Dara Baju Merah ini teringat akan perasaan hatinya terhadap Cin Hai! Ah, Suci, kalau saja kau tahu betapa berat rasa hatiku karena pemuda itu, pikirnya.

“Im Giok, aku memang telah bersalah. Beritahukan saja kepada Susiok-couw bahwa semenjak hari ini aku Kim Lian akan mencukur rambut dan menjadi nikouw (pendeta wanita) dan bertapa di gua ini. Aku takkan mencampuri urusan dunia lagi dan hanya ingin bertapa menebus dosa!”

Ang I Niocu tidak tahan lagi menahan keharuan hatinya. Ia maju menubruk dan memeluk sucinya dan mereka berdua sama-sama menangis. Ang I Niocu merasa girang mendengar akan keinsyafan sucinya ini, akan tetapi kata-kata Kim Lian tadi benar-benar menusuk hatinya.

“Im Giok, mudah-mudahan kau takkan sampai tersesat seperti aku,” kata Kim Lian sambil mengusap-usap rambut sumoinya yang halus.

“Suci… aku pun hanya seorang manusia biasa saja yang tidak terbebas dari kesesatan…”

Giok-gan Kui-bo dapat menetapkan hatinya yang terharu, lalu dengan tiba-tiba ia mencabut pedang yang tergantung di punggung Ang I Niocu. Gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan tergantung riap-riapan di punggungnya itu telah dipotongnya!

Ang I Niocu hanya dapat memandang dengan hati terharu sekali. Setelah kedua kakak beradik seperguruan itu bercakap-cakap melepaskan rindu, Ang I Niocu lalu meninggalkan Kim Lan.

Dara Baju Merah ini berjalan secepatnya karena ia ingin segera sampai di Gua Tengkorak dan memberi laporan kepada Bu Pun Su tentang tugas yang telah diselesaikannya itu. Padahal sebetulnya karena ingin segera bertemu dengan Cin Hai, maka ia melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa itu!






Tidak ada komentar :